[review buku] : Ranah 3 Warna
Hay,
Assalamua’laikum! Gimana kabarnya dihari Minggu ini? Aku baru saja selesai
membaca buku Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Buku ini adalah buku lanjutan
kedua dari trilogi negeri 5 menara. Aku sudah pernah membaca buku ini jauh-jauh
hari yang lalu dan aku lupa tepatnya kapan. Saat main ke kos Ama, aku ngelihat
buku ini dan berniat membacanya lagi. Berharap buku ini akan memberi motivasi
ditengah kemalasan yang akhir-akhir ini kian melanda.
Entah
kenapa saat membaca buku ini lagi, aku seperti terbawa dalam kehidupan seorang
‘Alif’. Aku seakan berada didalam posisinya. Aku seakan mengerti saat si ‘Alif’
kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Aku tertawa, lalu mengangguk, lalu
sedih, dan semuanya bercampur aduk! Bukan berlebihan, hanya saja, aku mengangguk-angguk
setuju dengan apa yang disampaikan oleh Ahmad Fuadi dikisahnya lewat buku
‘Ranah 3 Warna’ ini. Aku terkagum-kagum dengan semua sosok hebat yang ada
didalam buku ini. terkagum-kagum dengan semangatnya Alif untuk bisa dapat
ijazah persamaan, terkagum-kagum dengan perjuangan Alif untuk lulus UMPTN,
terkagum-kagum dengan semua perjuangannya hingga bisa menginjakkan kaki di
Kanada. ;’)
Aku
terkagum pada sosok ‘Raisa’ yang seorang mahasiswa Komunikasi. Seorang
mahasiswi yang tidak hanya punya kelebihan fisik, tapi juga memiliki kelebihan
intelektual. Aku selalu suka ngelihat cewek cantik plus pintar plus jago masak
apalagi sholehah, entah kenapa plus-plus dimata aku. Bukan aku pecinta sejenis,
hanya sebatas suka karna kagum. Apalagi Raisa menganut paham ‘nggak pacaran’
sebelum nikah. Dia perempuan yang punya pendirian, punya tujuan, punya
misi-visi dalam hidupnya, pokoknya dari gambaran dibuku, dia sosok anak
Komunikasi yang ideal. Sebagai sesama anak Komunikasi, entah kenapa aku
tertampar dengan sosok Raisa ini. kesindir trus nanya kediri sendiri, aku bisa
apa? Aku harus gimana? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Terkagum
juga pada sosok bang Togar yang telah mengajarkan Alif untuk menulis dengan
benar. Sosok ‘guru’ yang tegas, tapi penyayang. Dari sosok ini aku belajar
bahwa menulis itu harus dibiasakan. Bang Togar mengajarkan pada Alif (juga
padaku) bahwa tidak pantas kita bermalasan, karna diluar sana masih banyak
orang-orang yang nggak seberuntung kita. Masih banyak orang-orang yang
jangankan untuk mengenyam pendidikan, untuk sekolah saja susah, trus masih
pantas untuk mengeluh? Masih pantas untuk bermalas-malasan? Sosok bang Togar
yang keras karna memang berdarah Batak tetapi memiliki hati yang lembut, ia
mengajarkan bahwa tiap rezeki kita ada hak orang lain didalamnya. Sekecil
apapun rezeki itu, jangan pernah lupakan hak orang lain didalamnya.
Merinding
melihat perjuangan ‘Alif’. Merinding ngelihat susahnya dia. Jatuh-bangun untuk
menggapai semua impiannya. Aku menangis membaca buku ini, entah seperti
mendapat pencerahan baru, semangat baru untuk terus menghasilkan banyak hal
lebih, untuk menghasilkan banyak karya apapun kondisinya. Dan paling penting,
didalam setiap usaha lebih untuk menggapai cita-cita, jangan pernah lupakan
Allah. Jangan pernah lupakan doa orang tua. Karna kedua itu termasuk kunci
sukses.
Dibuku
ini, aku juga merasa merinding saat pengibaran sang merah putih di tanah
Kanada. Pasti rasanya akan sangat berbeda dan rasa nasionalisme itu akan lebih
tinggi. Aku memang belum pernah keluar negri, tapi aku dapat merasakannya. Ah,
semoga aku juga bisa merasakan hal seperti itu suatu hari nanti. Semoga Allah
memanggilku dan memberiku kesempatan untuk menginjakkan kaki diluar negri plus
bisa mengibarkan bendera merah-putih disana.
Buku
ini mengajarkanku banyak hal. Ya, banyak sekali! Membuka mataku terang-terang
bahwa kehidupan orang sukses itu pada awalnya memang tak mudah. Banyak halangan
yang menantang untuk tau sekuat mana dia akan bertahan. Sama halnya seperti
mutiara yang indah yang pada awalnya diberi banyak tekanan.
Ada
beberapa kata-kata yang aku catat dari buku ini, yakni :
Man jadda wajadda!
Going the extra miles.
I malu fauqa ma’amilu. Berusaha diatas rata-rata orang lain.
Veni vidi vici. Saya
datang-saya lihat-saya menang!
Berlelah-lelahlah,
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Jangan menyerah! Menyerah berarti
menunda masa senang dimasa datang.
Setiap perjalanan
panjang dimulai dari langkah pertama.
Mati adalah kepastian
paling pasti didalam hidup.
Tinggalkan negrimu dan
merantaulah kenegri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kawan dan
kerabat. –Imam Syafi’i
Dan
masih banyak kata-kata keren lainnya. Mulai hari ini aku akan kembali membenahi
diri! Semakin bersungguh-sungguh untuk berusaha menggapai apa yang ingin aku
gapai, apapun halangannya, apapun hambatannya! Aku akan berusaha sekuat aku,
sebisa aku, dan semaksimal aku, karna aku sadar bahwa hidup itu akan selalu
berputar. Hidup itu memiliki masanya masing-masing. Semangat Mut!
Buku
ini recomended buat dibaca buat teman-teman yang galau atau lagi malas. Nggak
rugi karna akan ada suntikan dahsyat dari buku ini. Udah gini dulu deh. Nggak
kaya review sih sebenarnya. Hehe. Salam sayang, @muthiiihauraa
Minggu,
25 Oktober 2015. 12.09 WIB.
Wah, aku belum pernah baca buku ranah 3 warna, baca negeri 5 menara aja gak sampai rampung. Amin, semoga apa yang kak muthia cita-citakan tercapai deh. Ayo kita bareng-bareng kejar impian kita. :D
BalasHapusBuku ini yang menjadi salah satu penggerak kemalasan saya ketika kuliah dulu.
BalasHapusyang menjadi perantara untuk memaksa kaki ini nekat untuk merantau meraih impian saya selama ini.
Going the extra miles :-) kecepatan diatas rata-rata....
Wah ada review tentang buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara. :3
BalasHapusBuku ini bisa dibilang pembangkit MOOD yang tadinya malas sekarang jadi bikin kita semangat. Bener2 dah, siap baca buku ini jadi pengen merubah diri ke arah yang lebih baik. Ahmad Fuadi pandai sekali membuat para pembaca bukunya terkagum-kagum dengan tulisannya. Buku ini rekomended banget bagi yang ingin merasa lelah terlebih dahulu, dan mengecap manis pada akhirnya ^^
Btw, gue udah baca ketiga bukunya. At least, Keren!
Ranah Tiga Warna. Dari judul aja udah bikin penasarann.
BalasHapusMenarik.